Kisah Mualaf Sapto Mulyono Mantan Pengungsi Poso
OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI
Dalam sejarah Indonesia, terdapat sejumlah konflik horizontal yang menimbulkan luka dan duka di tengah masyarakat. Salah satu kejadian pilu yang pernah membayangi negeri adalah Tragedi Poso. Peristiwa itu merupakan serangkaian kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dalam kurun tahun 1998 hingga 2001.
Bagi Sapto Mulyono, kenangan akan Tragedi Poso tidak lekang dari ingatannya. Lelaki asal Semarang, Jawa Tengah, itu mengatakan, dirinya masih berusia anak sekolah dasar (SD) tatkala hijrah ke Poso. Waktu itu, ia ikut dengan kedua orang tua dan kakaknya.
Ada faktor pekerjaan di balik kepindahan mereka ke daerah Sulawesi Tengah tersebut. Semula, bapak dan ibunya bekerja sebagai pengurus sebuah tempat ibadah di ibu kota Jawa Tengah. Keduanya bertugas antara lain mempersiapkan meja dan kursi yang akan dipakai jemaat beribadah tiap akhir pekan.
Namun, musibah datang menghampiri. Saat sedang bekerja, ayah Sapto terjatuh sehingga mengalami patah tulang. Nyaris seluruh harta benda terkuras demi pengobatan. Terlebih lagi, pekerjaan sang bapak merupakan mata pencaharian utama.
Alhasil, keluarga ini hampir saja pupus harapan. Lantas, sebuah yayasan membantu mereka untuk keperluan sehari-hari, termasuk memenuhi biaya makan Sapto kecil dan sekolah kakaknya. Begitulah keadaannya hingga beberapa tahun.
Ternyata, yayasan tersebut memiliki cabang sampai ke luar Jawa. Pada suatu hari, pihak pengelola lembaga itu menawarkan keluarga Nasrani tersebut untuk mengikuti transmigrasi yang diselenggarakan pihaknya. Tujuan migrasi itu adalah Poso.
“Ketika pindah ke Poso saya masih duduk di bangku sekolah dasar,” ujar Sapto Mulyono kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Awalnya, segala tampak biasa saja bagi Sapto kecil, kakak, dan kedua orang tuanya. Keluarga pendatang ini dengan relatif cepat melebur ke dalam pergaulan masyarakat setempat. Mereka dikenal ramah. Terlebih lagi ibunda Sapto yang gigih membanting tulang di tengah kondisi sang suami yang berjuang untuk sembuh dari luka akibat kecelakaan kerja.
Di Poso, keluarganya tinggal di sebuah kampung yang mayoritasnya beragama non-Islam. Lahan yang disediakan pihak yayasan untuk mereka di sana berdekatan dengan gereja. Karena mereka rajin mengurus tempat ibadah itu, warga lokal pun merasa kagum akan dan menghormatinya.
Bagaimanapun, kenang Sapto, kehidupan sosial di desanya cenderung cair. Sebab, anak-anak maupun orang tua di sana juga sering berinteraksi dengan warga yang Muslim. Satu sama lain saling membantu. Ketenteraman dan keamanan dijaga bersama-sama.
Sapto tidak mengetahui persis bagaimana mulanya perubahan suasana terjadi. Hal itu seperti berlangsung secara tiba-tiba. Dari luar kampungnya, huru-hara dikabarkan terjadi. Dan, akhirnya kerusuhan merembet ke desanya.
Yang ia ingat, kedua orang tua dan saudaranya tampak bingung sekaligus ketakutan. Maklum saja, kabar-kabar yang tidak jelas sumbernya beredar dari mulut ke mulut. Penduduk kampung tempatnya tinggal tidak ingin konflik terjadi di depan rumah mereka. Karena itu, umumnya warga setempat memilih untuk mengungsi ke luar kecamatan.
Sapto juga masih mengingat dengan jelas momen keputusan tetua lokal. Desa tempatnya berada ketika itu memang dihuni kebanyakan umat Nasrani. Namun, belasan kepala keluarga (KK) warga Muslim setempat dianggap sebagai bagian dari komunitas kampung setempat. Karena itu, para pemimpin rukun warga (RW) kompak melindungi siapapun penduduk desa, apa pun agamanya.
Sapto mengatakan, salah seorang warga Muslim yang dekat dengannya adalah gurunya sendiri di SD. Pak Anto—bukan nama sebenarnya—dikenal sebagai pribadi yang santun dan ramah, baik di dalam maupun luar sekolah. Para tetangga pun, termasuk yang Nasrani, melindungi guru SD tersebut dan keluarganya agar tidak diusik gangguan atau provokasi-provokasi dari luar desa.
Di luar dugaan, huru-hara ternyata tidak padam dalam hitungan pekan. Berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun, bara konflik masih ada di Poso kala itu. Desa tempat tinggal Sapto dan keluarganya pun terbelah. Sebab, lambat laun agitasi dari luar kampung tidak lagi bisa terbendung.
Dalam beberapa kejadian, para tetua tidak mampu mencegah datangnya warga dari kampung lain yang hendak menyudutkan penduduk Muslim setempat. Karena itu, tokoh-tokoh lokal sekali lagi meminta warga yang non-Nasrani untuk mengungsi, padahal sebelumnya mereka telah kembali dari pengungsian sementara.
KK yang Muslim pun memahami kondisi tersebut. Sebagian mereka lantas pergi ke luar Sulteng. Ada pula yang tetap bertahan di provinsi itu, tetapi hanya menetap di kabupaten berbeda. Bagaimanapun, ketidaknyamanan juga dirasakan KK yang Nasrani, termasuk ayah dan ibu Sapto.
Karena itu, tutur Sapto, keluarganya lantas memutuskan untuk kembali ke Semarang. Hanya kakaknya yang tetap di Poso dengan alasan pekerjaan. Keputusan yang tidak mudah, tetapi harus dilakukan untuk menyelamatkan diri mereka dari pelbagai kemungkinan terburuk.
Di Kota Lumpia, Sapto meneruskan pendidikannya sejak SMP hingga SMK. Begitu lulus dari sekolah kejuruan, dirinya hendak hidup mandiri dengan merantau ke Jawa Barat. Petualangannya bermula di Bandung, sekira tahun 2005.
Saat itu, bukan hanya pekerjaa pertama yang diperolehnya. Di Kota Kembang, dirinya mendapatkan kesan yang selama ini luput dalam hidupnya. Yakni, keseharian di lingkungan mayoritas Muslim.
Di Bandung, indekos tempatnya tinggal berada di tengah komunitas Islam. Kawan-kawannya pun kebanyakan adalah Muslim. Bos dan rekan sekerjanya juga demikian. Inilah untuk pertama kalinya Sapto akrab dengan rutinitas islami, semisal mendengar gema suara azan lima kali sehari atau ucapan-ucapan “alhamdulillah” atau “subhanallah” dari lisan teman-teman.
Hal lain yang mengesankannya adalah sikap orang-orang setempat. Ambil contoh, kawan-kawan maupun para tetangganya memang beragama Islam. Namun, mereka tidak pernah membeda-bedakan atau mempermasalahkan keyakinannya. Perilaku itu membuatnya nyaman bergaul.
“Saya pun lebih mengenal budaya Muslim ketika menetap di Bandung. Tidak ada sikap membeda-bedakan dari mereka meski saya non-Muslim saat itu,” katanya.
Di Bandung, Sapto tidak memiliki saudara dan kerabat. Karena itu, teman-teman adalah tempatnya menghilangkan penat dan kesepian. Di antara mereka, terdapat seorang wanita yang kemudian membuatnya jatuh hati.
Entang Sumarni—demikian namanya—merupakan seorang Muslim. Setelah berteman beberapa lama, Sapto dan perempuan itu ingin menuju ke jenjang pernikahan. Waktu itu, lelaki pendatang asal Semarang tersebut sudah mencapai usia 27 tahun. Lagipula, dirinya enggan lama-lama melajang.
Saat itu, masih ada perbedaan agama di antara keduanya. Atas kesadaran sendiri, Sapto ingin mempelajari Islam lebih dekat. Agama yang dipeluk Entang Sumarni itu dikajinya dengan sungguh-sungguh, baik melalui kajian yang diadakan sejumlah ustaz maupun bahan bacaan.
Mulai tahun 2013, ia menyadari bahwa Islam bukanlah agama yang sekadar mengajarkan hal-hal ritual. Seluruh aspek kehidupan pun ada aturannya dalam ajaran Islam. Hal itu membuatnya kian tertarik untuk mengikuti.
Pada akhir tahun itu, ia kemudian memantapkan hatinya untuk bersyahadat. Dengan disaksikan seorang ustaz dan jamaah, ikrar tauhid itu diucapkannya di sebuah masjid. Maka sejak saat itu, dirinya resmi menjadi Muslim.
Sekitar tahun 2015, Sapto menikah dengan Entang. Kini, pasangan suami dan istri itu telah dikaruniai seorang anak perempuan. Sebagai seorang mualaf, lelaki tersebut selalu berupaya meningkatkan pengetahuannya akan agama Islam agar menjadi pribadi yang baik.
Waktu awal-awal menjadi mualaf, kenang Sapto, dirinya berusaha keras untuk mempraktikkan dan menghafalkan bacaan shalat. Hal itu tidak mudah. Sebab, ibadah tersebut dilakukan dengan doa-doa berbahasa Arab.
Begitu pula dengan mengaji Alquran. Untuk membantunya, ia sering menonton video latihan shalat dan tadarus di saluran YouTube. Syukurlah, lingkungan masjid tempat tinggalnya di Semarang turut mendukung suasana tarbiah. Para ustaz setempat juga tidak lelah membimbingnya agar dapat mendirikan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya dengan baik.
Menjadi mualaf pun memiliki tantangan tersendiri. Penolakan keluarga sempat dirasakan oleh Sapto saat dirinya memberi tahu mereka tentang keislamannya.
“Keluarga saya kecewa. Waktu itu, bapak saya sudah meninggal. Hanya ada ibu dan kakak-kakak saya,” ujar dia.
Ibunya bahkan sempat mengimbaunya agar ke Semarang atau Poso—tempat kakaknya—guna kembali kepada agama lamanya. Dengan halus dan santun, ia menolak ajakan itu. Ia juga ingat nasihat seorang ulama agar tetap berbakti kepada orang tua walaupun berbeda keyakinan. Ketika ayah atau ibu mengajak pada kemusyrikan, tolaklah dengan bahasa yang tidak menyakiti hati.
Bagaimanapun, saat pernikahan Sapto dan Entang berlangsung, nyaris tidak ada pihak keluarga mempelai pria yang hadir. Ibu dan kakaknya pun absen. Hanya sanak famili jauh yang kebetulan menetap di Jawa Barat menghadiri prosesi tersebut.
Syukurlah, waktu mengobati kesenjangan komunikasi. Kini, ibu dan kakak-kakaknya sudah berbaikan dengannya. Malahan, tiap ada kesempatan liburan, mereka sering datang ke Bandung. Begitu pula sebaliknya. Sapto dan keluarga kecilnya senang berkunjung ke Semarang atau Poso.
Saat ini, Sapto dan istrinya sibuk mengurus pendidikan anak usia dini (PAUD) yang ada di dekat rumahnya. Lembaga itu bernaung di bawah yayasan Zahratu Bentang Harapan. Harapannya, dari tempat ini muncul generasi Muslim yang cinta Alquran dan saleh atau salehah.
Sumber : https://www.republika.id/posts/29139/kisah-mualaf-sapto-mulyono-mantan-pengungsi-poso