Berita

Nasihat Tarbiyah Sufistik

OLEH HASANUL RIZQA

 

Dalam Alquran surah al-‘Ashr, Allah SWT menyuruh umat Islam agar saling menasihati pada kebaikan. Semangat “tawaa shaubil haqqi” tampak dalam pembacaan atas buku Pendidikan Sufi karya akademisi legendaris dari Tanah Rencong, Prof H Aboebakar Aceh.

Walaupun tidak tebal, karya tersebut dengan bernas merangkum petuah-petuah kebajikan dari kalangan penggiat tasawuf. Seperti terlihat dari judulnya, risalah tersebut membicarakan tentang proses pendidikan yang dilakukan kaum sufi.

Dalam pengertian lain, topiknya merupakan edukasi yang dilihat dari perspektif tasaquf. Dengan demikian, tujuannya adalah mencetak generasi Muslim yang bervisi sufistik.

Dalam kalam pembuka, Prof Aboebakar mengatakan, di antara cara pandang kaum sufi adalah selalu mengutamakan Allah. Bagi mereka, dunia tempat manusia kini berada adalah satu fase saja dalam perjalanan panjang menuju Diri-Nya. Karena itu, orang-orang salik selalu melihat berbagai kerusuhan di dunia ini terjadi karena dua hal.

Pertama, manusia tidak mengakui percaya kepada Tuhan. Ketidakpercayaan itu berarti enggan mengenal-Nya. Bagi orang-orang yang masih mengaku beriman, hal itu pun dapat dimaknai sebagai tidak takut atau tidak patuhnya kepada perintah dan larangan Allah.

Kedua, rasa cinta manusia yang terlalu besar pada dirinya sendiri. Hal itu menimbulkan ketamakan, kemubaziran, dan sikap apatisme. Padahal, sejatinya semua orang adalah sama. Sebab, segala kekayaan, kesehatan, dan ilmu yang diperoleh hanyalah milik Allah, dan cepat atau lambat akan kembali kepada-Nya.

Dalam buku ini, Aboebakar menyuguhkan beberapa nasihat yang dipetiknya dari kehidupan kaum sufi. Ketika pokok soal sudah diketahui, jawaban atas masalah itu pun dapat ditemukan. Menurut dia, perbaikan baru dapat dilakukan setelah keyakinan kepada Tuhan tertanam dalam diri manusia.

“Apabila kepercayaan kepada Tuhan itu sudah tebal, lahirlah cinta, lahirlah taat dan patuh, lahirlah takut, yang dapat mengontrol dan mengawasi segala amal perbuatan,” tulisnya (hlm 12).

Maka dari itu, pendidikan sufistik pertama-tama menyasar pada perbaikan budi pekerti. Modelnya adalah Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis, beliau menegaskan bahwa dirinya diutus oleh Allah Ta’ala untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Rasulullah SAW juga berpesan, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”

Karakteristik seseorang sukar diubah dalam sekejap mata. Karena itu, pendidik memerlukan proses, yang bisa berlangsung dalam kurun waktu tertentu atau bahkan seumur hidup. Aboebakar mengatakan, salah satu bentuk tempaan untuk memperbaiki budi pekerti adalah riadat lapar.

Ya, rasa lapar adalah latihan yang baik untuk pendidikan rohani. Sebab, perut kenyang—apalagi kekenyangan—cenderung mengalpakan seseorang dari Tuhannya. Dalam hal ini, membiasakan puasa adalah pilihan yang bijaksana.

Ketika mental sudah siap, seseorang dapat memasuki rihlah sufistik yang terdiri atas dua dasar. Pertama adalah mengosongkan diri dari kecenderungan hawa nafsu keduniawian. Kaum salik menamakan fase ini sebagai takhliyah. Dalam tahapan ini, orang dituntut untuk menjauhkan diri dari segala maksiat, baik lahir maupun batin.

Kedua adalah mengisi kembali jiwa dengan sifat-sifat yang terpuji. Inilah tahapan tahliyah. Sufi biasanya menerapkan disiplin ketat pada fase ini untuk selalu menaati perintah Allah SWT, baik wajib maupun sunah, sesuai kemampuan yang ada.

Dalam pengajaran sufistik, pokok yang didahulukan adalah menghindarkan diri dari maksiat, barulah kemudian peningkatan ketaatan. Sebab, menurut Aboebakar, yang pertama itu lebih sukar dilakukan daripada yang belakangan. Hal itu sejalan dengan pendapat sang Hujjatul Islam, Imam Ghazali, yang menerangkan, dalam agama terdapat dua dasar tarbiyah.

Pertama, meninggalkan segala hal yang terlarang. Kedua, mengerjakan segala kebajikan yang diperintahkan. Untuk menaati segala perintah-Nya atau amal ibadah itu, tiap orang sanggup sekadar kuasanya.

Namun, mengendalikan syahwat atau hawa nafsu itu tidaklah dapat dikerjakan sembarang orang, kecuali yang sudah memindahkan jiwanya dari suasana kejahatan kepada nuansa gemar berbuat kebaikan.

Masih menukil Imam Ghazali, Aboebakar menjelaskan, tiap insan sesungguhnya condong pada kebajikan. Karena itu, ia menaruh optimisme bahwa siapapun orang beriman mampu untuk menjalani pendidikan sufistik, asalkan terdapat keteguhan dalam hatinya.

Rasa lapar menjauhkan pribadi dari nafsu yang tak terkendali. Hal itu pada gilirannya membuka jalan untuk meninggalkan maksiat dan beribadah dengan penuh ketaatan. Proses selanjutnya adalah meningkatkan fokus pada urusan-urusan akhirat.

Dengan itu, kaum salik tidak bermaksud hidup secara rahib yang mengasingkan diri dari masyarakat. Sebaliknya, sufi selalu mengupayakan dirinya agar bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain,” begitu pesan Nabi SAW.

Yang ditekankan adalah sikap egoistis dan pamer diri dalam mengejar kebermanfaatan itu. Karena itu, kaum sufi menjauh dari apa yang disebut jah. Imam Ghazali berkata, jah adalah mencari kemasyhuran dengan sengaja untuk membesarkan diri. Singkatnya, semakin puas apabila namanya populer. Sebaliknya, ia menjadi cemas apabila namanya kurang atau bahkan tak lagi diingat oleh publik luas.

Tentang hal itu, Aboebakar mengutip sebuah petuah dari Ali bin Abi Thalib, “Hendaklah engkau selalu merendahkan dirimu. Jangan mencari kemasyhuran. Jangan mengangkat-angkat dirimu dengan membangga-banggakan ilmu pengetahuanmu dan lain-lain. Biasakan tenang dan berdiam diri.”

“Orang sufi dalam pendidikannya mengajarkan, jangan banyak berbicara yang tidak perlu. Bahkan, diperintahkan diam dalam segala keadaan kecuali yang ada faedahnya buat agama dan kepentingan umum,” tulisnya (hlm 42).

Banyak kaum sufi dari masa lalu yang hidup dalam serba keterbatasan atau bahkan kekurangan. Bagaimanapun, pokok pembicaraan dalam buku ini adalah nasihat-nasihat untuk perbaikan akhlak. Apakah seseorang sudah menjadi kaya atau tidak, itu bukanlah soal utama. Sebab, banyaknya harta pun tidak menutup kemungkinan bagi seorang Muslim untuk menjadi pribadi yang sufistik.

Dengan kekayaannya, seseorang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Malahan, harta itu menjadi jalan baginya untuk turut membangkitkan dan mencerdaskan umat Islam. Dalam hal ini, Aboebakar mengingatkan pembaca pada satu sifat khas sufi, yakni zuhud.

Karakteristik itu tidak berarti keterbelakangan atau kemiskinan. Sebab, rumusnya bukan mengabaikan, tetapi tidak terbawa arus dunia. Mengutip Imam al-Junaid dalam Madarij as-Salikin, “Orang yang zuhud tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia.”

“Orang yang zuhud menunjukkan seluruh hidupnya untuk akhirat. Oleh karena itu, (dia) mengerjakan ibadah sebanyak mungkin dengan tidak memedulikan kesenangan dirinya. Ia memakan sekadar untuk hidup, dan memakai pakaian sekadar untuk menutupi auratnya,” demikian tulis cendekiawan asal Aceh (hlm 48).

Akhirnya, buku Pendidikan Sufi ini sangat tepat menjadi kawan untuk merenung, memikirkan kembali, dan bahkan mengevaluasi kehidupan. Tidak hanya itu, karya Aboebakar ini—wafat tahun 1979—juga menguraikan pembahasan tentang asal usul istilah sufi secara ringkas.

Di samping kitab tersebut, sang penulis juga telah menghasilkan puluhan karya penting. Sebut saja, Aceh Dalam Sejarah Kebudayaan, Sastra, dan Kesenian, Sejarah Alquran, Pengantar Ilmu Tarekat, serta Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf.

Konon, sebutan “Aceh” di belakang nama dirinya merupakan pemberian presiden pertama RI, Sukarno. Sebab, Bung Karno kagum akan keluasan ilmu putra daerah Aceh ini. “Ensiklopedia Berjalan” itulah sebutan dari teman-temannya yang mengakui luasnya cakrawala ilmu pengetahuannya.

DATA BUKU

Judul: Pendidikan Sufi: Sebuah Upaya Mendidik Akhlak Manusia

Penulis: Prof Dr H Aboebakar Aceh

Penerbit: Ramadhani

Tebal: 68 halaman

Sumber : https://www.republika.id/posts/29136/nasihat-tarbiyah-sufistik



Lihat semua berita

Video Ceramah/Khutbah Jumat

Lihat semua video ceramah/khutbah Jumat